Ketika Emosi Menjadi Penguasa

Ketika Emosi Menjadi Penguasa

Ilustrasi seseorang yang sedang dikuasai emosi (Sumber: Freepik.com)--

Feature

Jakarta, AktualNews - Emosi adalah bagian alami dari manusia. Tapi tak semua orang mampu mengendalikannya dengan baik. Ketika Emosi meledak tanpa kendali, kerusakan yang ditinggalkannya tidak selalu terlihat oleh mata, tapi terasa mendalam di dalam hati.

Ada banyak kasus di mana seseorang terlihat baik-baik saja dari luar, namun di balik itu tersimpan benturan batin yang terus memanas. Bukan hanya bagi dirinya, tetapi juga bagi orang-orang di sekitarnya. Tidak jarang, suasana rumah, tempat kerja, atau lingkungan sosial pun ikut terpengaruh oleh satu pribadi yang emosinya tak stabil.

Pernahkah kamu merasa perlu diam, hanya agar tidak memicu pertengkaran? Atau memilih mengalah, meskipun dalam hati merasa tak adil? Itu adalah efek samping dari kurangnya kecerdasan emosional seseorang, dan sayangnya, yang menanggung akibatnya bukan hanya dia.

BACA JUGA:Pentingnya Etika dalam Berbicara: Fondasi Kehidupan

Menurut Psikolog Anak dan Remaja, Vera Itabiliana Hadiwidjojo, kecerdasan emosional bukanlah bawaan lahir, melainkan bisa dilatih dalam keseharian. Salah satu caranya adalah dengan melatih kemampuan mendengarkan aktif dan mengenali perasaan diri sendiri. Dalam unggahannya di platform X, Vera menulis bahwa mendengarkan aktif adalah bagian penting dari kecerdasan emosional karena melatih empati dan kontrol diri sejak dini.

Ketika Emosi Menguasai Logika

Ada orang-orang yang merasa paling benar dalam setiap argumen. Mereka sulit diajak berdiskusi karena setiap pendapat berbeda dianggap serangan. Tidak peduli seberapa tenang lawan bicaranya, suasana akan tetap panas karena emosi mereka selalu memimpin, bukan logika.

Hal seperti ini seringkali membuat orang lain tidak nyaman. Sebuah perbedaan pandangan kecil bisa berubah menjadi pertengkaran besar. Bahkan hal sepele seperti cara duduk, nada bicara, atau ekspresi wajah bisa dianggap menyindir atau menyerang.

Orang-orang di sekitarnya terpaksa bersikap hati-hati. Mereka menyesuaikan kata-kata, menunda pembicaraan penting, atau bahkan memilih untuk menghindar sama sekali. Ini tentu melelahkan secara emosional. Hidup seperti berjalan di atas pecahan kaca, harus ekstra pelan agar tidak melukai siapa pun.

BACA JUGA:Etika: Jalinan Kehidupan yang Harmonis

Padahal, inti dari kecerdasan emosional adalah kemampuan mengenali dan mengelola emosi diri sendiri. Tanpa kemampuan ini, seseorang akan terus merasa dirinya korban, padahal justru ia yang menyebabkan luka. Dan luka semacam ini tak selalu bisa diobati dengan permintaan maaf.

Jadi pertanyaannya: apakah benar semua orang yang marah itu benar? Atau mereka hanya belum bisa berdamai dengan diri sendiri?

Korban Tak Selalu Bersuara

Sumber:

Berita Terkait