Belajar Pulih dari Gagalnya Cinta yang Katanya Sehat

Foto; ilustrasi--
Feature
Kamu pernah menyangka bahwa setelah badai, akan ada pelangi. Kamu percaya bahwa setelah hubungan yang kelam, kamu akhirnya berhak mendapat yang terang. Maka saat seseorang datang dan memperlakukanmu layaknya tuan putri, kamu pun membuka hatimu.
Dia berbeda dari sebelumnya sangat berbeda. Dia lembut, pengertian, penuh perhatian. Kamu merasa aman, dihargai, dan dicintai dengan cara yang benar. Rasanya seperti mimpi yang akhirnya jadi nyata. Kamu yakin, kali ini hubunganmu akan bertahan. Kamu tidak lagi dalam lingkaran toxic. Kamu percaya kamu telah sembuh.
Hubungan itu berjalan baik. Lama. Stabil. Kamu merasa cukup. Kamu merasa pantas. Tapi seperti awan gelap yang datang diam-diam, kamu mulai merasakan perubahan yang tak bisa dijelaskan.
BACA JUGA:Tugas yang Tak Pernah Sampai Meja Dosen
Kamu ingin bertemu bukan karena cemburu, bukan karena posesif kamu hanya ingin dekat, ingin didengar, ingin dipeluk. Tapi berkali-kali, dia menolak. Katanya sibuk. Katanya lelah. Katanya ada teman. Kamu mulai mempertanyakan, apa benar kamu terlalu menuntut? Atau memang dia yang sudah berubah?
Kemarahanmu tumbuh. Tapi bukan karena benci. Justru karena kamu terlalu sayang. Kamu berjuang agar hubungan ini tetap sehat, agar tidak mengulang luka lama. Namun, yang kamu dapat justru jarak. Dingin. Diam. Dan akhirnya, kenyataan yang menghantam.
Dia selingkuh.
Dia kembali menjalin komunikasi dengan seseorang dari masa lalunya mantan yang kamu kira sudah menjadi bagian dari cerita lama. Kamu gemetar. Bingung. Marah. Tapi lebih dari itu, kamu hancur. Kamu bertanya pada dirimu sendiri: Aku kurang apa? Apa salahku sampai dia memilih menyakiti? Apa aku tidak cukup baik?
BACA JUGA:Kisah Terowongan Cikuda Bojong Nangka Bogor: Dari Angker Menjadi Simbol Kehidupan
Saat kamu menghadapinya, berharap ada penjelasan, yang kamu dapat hanyalah permainan kata. Dia memutar balik cerita. Seolah semua ini terjadi karena kamu terlalu menuntut. Seolah-olah kamu yang merusak semuanya. Kamu tidak hanya diselingkuhi, kamu juga disalahkan atas rasa sakitmu sendiri.
Dan di titik itu, kamu merasa benar-benar runtuh.
Tapi waktu walau tak pernah menjanjikan lupa selalu memberi ruang untuk berpikir jernih. Perlahan, kamu mulai mengurai benang kusut yang selama ini membelenggumu. Kamu melihatnya dari sudut pandang berbeda. Kamu sadar, perselingkuhan bukanlah kesalahanmu. Itu adalah pilihan. Pilihan yang dilakukan dengan sadar. Pilihan untuk mengkhianati, untuk tidak bersyukur, untuk menyia-nyiakan orang yang tulus.
Sumber: