Gagal Sekali, Belajar Seumur Hidup

Gagal Sekali, Belajar Seumur Hidup

Foto; ilustrasi--

Jakarta, AktualNews - Pagi itu biasa saja. Matahari terbit seperti biasa, suara motor masih berlalu lalang, dan udara tak terasa berbeda. Tapi bagi Dita, semuanya berubah. Di ruang sidang skripsi, ia dinyatakan gagal. Seisi ruangan terasa sunyi, bukan karena tidak ada suara, melainkan karena hatinya sudah terlanjur hancur.

“Aku udah nyiapin semua… tapi ternyata masih belum cukup,” katanya lirih saat bercerita beberapa hari setelahnya. Kalimat itu terdengar biasa, tapi di dalamnya ada perasaan malu, kecewa, dan letih. Bagi Dita, satu kegagalan saja terasa cukup untuk mempertanyakan seluruh perjuangan panjangnya.

Tapi Dita tidak sendiri. Gagal adalah bagian dari hidup yang nyaris pasti dilalui siapa pun. Kadang datang tanpa aba-aba, kadang justru hadir saat kita merasa paling siap. Tapi kegagalan bukan hanya tentang jatuh. Ia adalah ruang untuk jeda, untuk berpikir ulang, dan kadang, untuk mengenali diri sendiri lebih dalam.

Lihat saja Thomas Edison, yang konon melakukan seribu percobaan sebelum menemukan bola lampu. Atau Oprah Winfrey, yang sempat dipecat dari pekerjaannya karena dianggap tidak cocok untuk televisi. Bahkan Steve Jobs pernah dikeluarkan dari Apple, perusahaan yang ia bangun sendiri. Semua pernah jatuh. Tapi semua juga memilih bangkit. Dan dari situlah mereka dikenal.

BACA JUGA:Kisah Terowongan Cikuda Bojong Nangka Bogor: Dari Angker Menjadi Simbol Kehidupan

Kita sering memandang kegagalan sebagai titik akhir. Padahal, bisa jadi itu titik awal. Dalam kegagalan, kita sering menemukan hal-hal yang tak sempat kita lihat saat segalanya berjalan lancar. Rasa sakit memang nyata, tapi di balik itu selalu ada pelajaran, meski tidak selalu langsung terlihat.

Saya pun pernah gagal. Ditolak dari beasiswa yang saya kejar bertahun-tahun. Saat itu rasanya semua usaha sia-sia. Tapi perlahan saya sadar: kegagalan itu bukan berarti tidak pantas, melainkan bahwa saya masih harus belajar. Dan benar, dari penolakan itu saya jadi lebih peka terhadap kekurangan saya, lebih siap menghadapi peluang berikutnya.

BACA JUGA:Tugas yang Tak Pernah Sampai Meja Dosen

Yang membuat cerita tentang kegagalan begitu dekat adalah karena ia sangat manusiawi. Kita terhubung lebih mudah dengan cerita tentang jatuh, karena hampir semua dari kita pernah mengalaminya. Dita, yang dulu menangis di depan dosennya, kini menjadi konselor akademik di sebuah kampus. Ia membantu mahasiswa yang cemas menghadapi sidang, ujian, dan… ya, kegagalan. Dari lukanya, ia membangun ruang aman bagi orang lain untuk tumbuh.

Banyak psikolog menyarankan agar kita memandang kegagalan dengan pola pikir bertumbuh growth mindset. Kita diajak tidak terpaku pada hasil, melainkan menghargai proses dan melihat kesalahan sebagai bagian dari pembelajaran. Bukan berarti gagal itu menyenangkan. Tapi ia bisa berguna, kalau kita tahu bagaimana mengelolanya.

Cerita tentang kegagalan tak pernah basi. Ia selalu relevan, di masa lalu maupun sekarang. Dan mungkin, itulah kenapa tulisan ini bisa menyentuh siapa saja. Karena gagal, sejatinya, bukan milik satu orang. Ia milik kita semua.***

 

Oleh: Alifha Syafitri Salma (Jurnalistik), Politeknik Negeri Jakarta

Sumber: