Saat Bicara Tak Lagi Menyelesaikan Apa-Apa

“The single biggest problem in communication is the illusion that it has taken place.” — George Bernard Shaw.--
Feature
Malam terasa semakinmakin panjang ketika percakapan hanya sebatas notifikasi. Kata-kata masih ada, tapi nadanya menghilang. Kalimat-kalimat pendek diketik lalu dihapus, diganti emoji atau stiker lucu, seolah itu cukup mewakili isi hati yang sulit diurai.
Di awal, semuanya terasa mudah. Mengobrol bisa berjam-jam tanpa kehabisan topik. Tawa bersambut, cerita bersisian. Namun, seiring waktu, keintiman tak selalu tumbuh seiring kedekatan. Ada jarak yang muncul tanpa terlihat, membentang di antara dua orang yang masih saling menyapa tapi tak lagi saling mendengarkan.
Sebuah riset dari University of Texas menunjukkan bahwa 70% konflik dalam hubungan disebabkan oleh miskomunikasi, bukan karena perbedaan nilai atau prinsip. Kalimat sederhana bisa diartikan lain jika dikirim saat lelah, ditanggapi saat sensitif, atau dibaca tanpa intonasi yang seharusnya.
BACA JUGA:Kisah Terowongan Cikuda Bojong Nangka Bogor: Dari Angker Menjadi Simbol Kehidupan
Komunikasi yang rusak jarang terdengar seperti teriakan. Ia lebih sering sunyi. Diam yang bukan menenangkan, tapi membebani. Kata-kata yang dulu menghangatkan kini terasa asing. Bahkan permintaan sederhana seperti “jangan lupa makan” bisa terdengar seperti beban, bukan perhatian.
Ada yang berusaha bicara tapi tak tahu harus mulai dari mana. Ada yang mendengarkan, tapi hanya untuk membalas, bukan untuk memahami. Ada pula yang terus menunggu, berharap satu kalimat bisa mengembalikan kehangatan yang hilang. Tapi, kata yang ditunggu tak kunjung datang, dan hati mulai bertanya, “apakah masih perlu dijelaskan, jika yang ingin dimengerti sudah tak ingin tahu?”
Komunikasi bukan soal banyaknya kata, tapi tentang keberanian membuka diri. Tentang ketulusan untuk hadir, bukan sekadar ada. Ketika dua orang berhenti jujur pada apa yang dirasakan, saat itulah hubungan perlahan kehilangan nadinya. Namun, bukan berarti semuanya berakhir.
BACA JUGA:Gagal Sekali, Belajar Seumur Hidup
Gagal berkomunikasi bukan kegagalan total. Menurut Dr. John Gottman, pakar hubungan dari The Gottman Institute, hubungan yang sehat bukanlah yang tanpa konflik, tapi yang mampu memperbaiki komunikasi setelah konflik terjadi. Ia menyebutnya sebagai repair attempt, usaha memperbaiki sebelum semuanya benar-benar runtuh.
Ketika semua terasa salah, mungkin yang dibutuhkan bukan kata-kata baru, tapi cara baru untuk saling memahami. Bukan percakapan panjang, tapi kehadiran yang utuh. Karena seringkali, hubungan tak tumbang karena terlalu banyak konflik, tapi karena tak ada ruang untuk menyampaikan rasa dengan aman.
Cinta tidak cukup diucapkan. Ia perlu dijaga dalam percakapan kecil, dalam kejujuran yang kadang menyakitkan, dan dalam kesediaan untuk mendengarkan hal-hal yang sulit.
Komunikasi yang utuh tidak lahir dari kesempurnaan, tapi dari keberanian untuk terus mencoba. Untuk bicara meski takut salah. Untuk mendengar meski lelah. Untuk bertumbuh meski pernah gagal.
Sumber: