Ruang Kecil yang Penuh Arti

Ruang Kecil yang Penuh Arti

Foto; ilustrasi--

Jakarta, AktualNews - Langit petang berwarna kelabu. Hujan baru saja reda, menyisakan titik-titik air di kaca jendela yang berembun. Di dalam rumah berdinding tipis, suara televisi terdengar samar, bercampur dengan aroma teh manis yang mengepul dari gelas kaca.

Di ruang tengah, Herdin dan ibunya duduk berhadapan di meja makan. Tak banyak lauk, hanya nasi hangat, tahu goreng, dan sayur bening. Namun, di antara mereka, makanan sederhana itu cukup untuk membuat ruang kecil terasa penuh.

Mereka tak membahas hal besar. Obrolannya hanya seputar cuaca yang makin dingin, atap yang bocor, atau jemuran yang belum sempat diangkat. Sesekali ibunya menyindir Herdin yang masih lupa menyapu halaman pagi tadi dan Herdin hanya membalas dengan senyum kecil.

Sejak ayahnya meninggal, rumah itu hanya diisi dua orang. Namun, Herdin tak pernah merasa sepi. Ia tahu, ada kehadiran yang tak pernah terlewat, yaitu sang ibu yang selalu memastikan rumah tetap hidup dengan caranya sendiri.

BACA JUGA:Diri yang Terkikis oleh Ekspektasi

Kini, Herdin yang menggantikan banyak peran. Ia menyeduh teh untuk ibunya setiap sore, mengganti tabung gas ketika habis, dan memperbaiki kabel lampu yang longgar. Bukan karena diminta, tapi karena ia tahu itu bagian dari caranya menjaga.

Ibunya pun tak pernah banyak menuntut. Namun, Herdin sering menemukan baju kerjanya sudah disetrika rapi atau roti isi ditaruh di dalam tas sebelum ia berangkat di pagi hari. Perhatian itu tidak datang lewat kata, melainkan lewat kebiasaan yang terus diulang.

Mereka juga pernah bertengkar. Kadang karena hal kecil, seperti Berebut kasur atau cucian yang menumpuk. Namun, malam tak pernah dibiarkan lewat dalam diam. Selalu ada yang mulai lebih dulu, biasanya ibunya yang menawarkan sisa gorengan atau bertanya apakah Herdin sudah makan.

BACA JUGA:Kamu dan Dirimu yang Terlupakan

Mereka tidak pernah mengucapkan “sayang” secara langsung. Akan tetapi, Herdin tahu, ketika ibunya menyalakan lampu teras lebih lama dari biasanya, itu tandanya dia sedang ditunggu. Lalu saat ia pulang larut, ibunya tak langsung tidur, hanya duduk di ruang tengah, berpura-pura sedang menonton acara lama.

Di rumah kecil itu, Herdin belajar bahwa cinta tidak harus lantang. Ia tumbuh dari kehadiran, dari perhatian yang tak banyak bicara, dan dari kesediaan untuk tetap tinggal meski hari-hari tidak selalu mudah.***

Sumber: