Tugas yang Tak Pernah Sampai Meja Dosen

Foto : Raissa--
FEATURE
“Dari 27 mahasiswa, hanya 6 yang mengumpulkan tugas.”
Kalimat itu meluncur dari mulut dosen dengan nada yang tenang, tetapi terasa seperti tamparan keras. Tak ada teriakan. Tak ada amarah. Tapi justru karena itulah kalimat itu terasa lebih menghantam. Sunyi seketika menyelimuti kelas. Mata kami saling menghindar, dan beberapa menunduk dalam diam.
Saya duduk di baris tengah. Berharap waktu mundur dua hari ke belakang, saat tugas itu masih mungkin saya selesaikan. Tapi waktu tidak bisa diulang. Dan tugas itu belum saya kumpulkan. Bahkan belum sempat saya kerjakan.
Tugas itu bukan tugas mendadak. Sudah diumumkan sejak dua minggu lalu. Dosen kami pun bukan tipe yang pelit waktu atau keras kepala. Beliau mengingatkan kami di kelas, bahkan mengulangnya lagi di grup WhatsApp dengan kalimat sabar yang selalu diakhiri dengan,
“Kalau ada yang belum jelas, silakan tanya ya.”
Tapi kami tetap diam. Tidak bertanya, tidak menjawab, dan sebagian besar tidak mengerjakan.
BACA JUGA:Cinta Tanpa Visa: Gagalnya Hubungan Jarak Jauh
Sore itu saya pulang ke rumah dengan perasaan yang berat. Bukan hanya karena tugas belum terkumpul, tapi karena saya tahu saya mengecewakan seseorang yang benar-benar peduli.
Saya buka ulang pesan-pesan dari dosen kami di grup. Kalimat-kalimatnya bukan hanya instruksi, tapi bukti bahwa beliau ingin kami belajar. Bahwa tugas bukan sekadar untuk nilai, tapi latihan untuk mendewasakan diri. Dan kami menyia-nyiakannya.
Gagal di sini bukan karena tidak bisa mengerjakan. Tapi karena tidak mencoba. Karena menunda sampai semuanya terlambat.
BACA JUGA:Kisah Terowongan Cikuda Bojong Nangka Bogor: Dari Angker Menjadi Simbol Kehidupan
Saya mulai menyusun ulang jadwal harian saya. Tidak banyak, hanya menyisihkan satu jam khusus untuk tugas. Saya pasang pengingat di ponsel, dan mulai berkata “tidak” pada beberapa ajakan nongkrong yang sebenarnya bisa ditunda.
Sumber: