Diri yang Terkikis oleh Ekspektasi

--
Jakarta, AktualNews - Setiap pagi, sebelum membuka mata sepenuhnya, Alin selalu mengingat daftar hal yang harus ia capai hari itu menyelesaikan tugas, merespons pesan dosen, menghubungi ibu, dan berpura-pura baik-baik saja. Semua harus berjalan sempurna, karena ia tak ingin mengecewakan siapa pun.
Di usianya sekarang Alin bukan hanya sedang menempuh kuliah, tetapi juga menjalani pergulatan batin yang nyaris tak terlihat. Ia hidup dalam lingkaran ekspektasi dari keluarganya, lingkungan sosial, bahkan dirinya sendiri. Di balik pencapaiannya yang kerap dipuji orang, ada sisi diri yang perlahan terkikis terjepit antara idealisme dan realita.
Alin tumbuh sebagai anak perempuan pertama dari tiga bersaudara di keluarga sederhana. Sejak kecil, ia dibiasakan untuk tidak banyak mengeluh. “Mama selalu bilang aku harus jadi contoh. Harus kuat, mandiri dan harus bisa diandalkan,” ujarnya.
Kini, saat menempuh perkuliahan di sebuah universitas negeri di Depok, Alin menjalankan perannya dengan nyaris tanpa celah. IPK nyaris sempurna, aktif organisasi, jadi panitia seminar, dan sambil kerja freelance sebagai penulis konten.
BACA JUGA:Kamu dan Dirimu yang Terlupakan
“Kalau dilihat dari luar, mungkin aku kelihatan ambisius atau super produktif. Tapi sebenarnya, aku cuma takut dibilang gagal,” ucapnya pelan. “Aku takut mengecewakan mama, papa, adik-adik, dan bahkan diriku sendiri.”
Kondisi seperti ini bisa disebut sebagai toxic productivity adalah tekanan internal untuk selalu produktif dan memprioritaskan daftar tugas dengan mengorbankan kesehatan mental atau fisik Anda ," kata Dattilo. "Hal itu dapat muncul tiba-tiba. Tiba-tiba, Anda merasa terjebak dalam kewajiban, dan menjauh darinya akan menimbulkan konsekuensi yang sangat besar."
Ekspektasi dari luar memang sulit dikendalikan, tapi tekanan dari dalam diri bisa lebih menyesakkan. Alin mengaku dirinya sendiri sering menjadi musuh terberat. “Aku ngerasa harus selalu punya pencapaian, harus berguna, harus bisa diandalkan.”
Ia menceritakan bagaimana setiap kegagalan kecil, seperti nilai tugas yang turun atau ditolak magang membuatnya merasa tidak berharga. “Aku langsung merasa kayak manusia gagal. Padahal cuma satu hal kecil,” katanya.
BACA JUGA:Luka yang Tak Tunduk pada Waktu
Fenomena ini terkait dengan apa yang disebut perfectionism-driven anxiety dalam Harvard Business Review (2020). Individu yang terjebak dalam pola ini kerap merasa identitasnya ditentukan oleh performa, bukan keberadaan dirinya.
Perfeksionisme, dengan pengejarannya yang tak kenal lelah terhadap kesempurnaan, dapat memberikan kontribusi yang signifikan terhadap kecemasan, terutama ketika hal ini mengarah pada ekspektasi yang tidak realistis dan kritik diri yang terus-menerus.Sebaliknya , kecemasan juga dapat memperburuk kecenderungan perfeksionis karena individu mencoba menghindari kemungkinan hasil negatif.
Malam-malam Alin sering diisi oleh air mata yang tak sempat ditunjukkan di siang hari. Ia belajar untuk tetap tersenyum, bahkan saat batinnya runtuh.
“Kadang aku ngerasa pengen banget ada yang bilang, ‘nggak apa-apa kamu gagal’. Tapi di sekitarku semua orang berharap aku terus jadi kuat,” tuturnya. Alin takut dicap lemah, takut dianggap manja. Maka, semua rasa capek itu ia simpan sendiri.
Sumber: