Jeda Sebentar: Menata Hati, Menyusun Arah

Jeda Sebentar: Menata Hati, Menyusun Arah

Sumber foto: balanganews.id--

Jakarta, AktualNews - Langit tak selalu cerah, dan hidup tak selalu berjalan lurus. Ada masa ketika segalanya terasa terlalu cepat, terlalu bising, dan terlalu melelahkan. Di titik itu, aku memutuskan satu hal yang sederhana tapi penting: berhenti sejenak. Bukan untuk menyerah, tapi untuk bernapas.

Di sebuah sore yang biasa, aku duduk di teras kecil rumahku, memandangi jalan yang mulai lengang. Suara motor dan riuh anak-anak bermain memudar, berganti dengan angin yang membawa aroma tanah. Tak ada yang istimewa dari momen itu, kecuali satu hal: aku benar-benar hadir.

Sudah lama aku merasa seperti kehilangan diriku sendiri. Target, tenggat, ekspektasi—semuanya berjalan seperti roda yang tak kenal lelah. Hari-hariku seperti dikendalikan: bangun, kuliah, sibuk, tidur. Ulangi. Sampai akhirnya, tubuhku memberi peringatan lelah yang tak bisa disembuhkan hanya dengan tidur.

Aku mulai banyak mendengar kisah teman-temanku. Azni, misalnya, memutuskan cuti kuliah satu semester karena burnout.

“Aku takut kalau terus dipaksakan, aku jadi benci sama semua hal yang dulu aku cintai,” ujar Azni.

Lalu ada Aziz, yang menulis jurnal setiap malam untuk mengenali ulang perasaannya sendiri.

“Ternyata aku marah bukan karena tugas, tapi karena aku belum memaafkan diriku sendiri,” kata Aziz.

Cerita-cerita itu membuatku sadar, jeda bukanlah kemunduran. Ia adalah ruang. Ruang untuk berpikir, merasa, dan akhirnya kembali dengan lebih utuh. Sama seperti tanaman yang butuh waktu istirahat agar bisa berbunga kembali, kita pun perlu hening untuk kembali berkembang.

Refleksi diri bukan perkara instan. Kadang kita menemukan hal-hal yang tak ingin kita lihat: luka lama, pilihan yang keliru, harapan yang tak pernah ada. Tapi di sanalah kekuatan sesungguhnya tumbuh dalam keberanian untuk menatap, bukan lari; dalam kejujuran untuk mengakui, bukan menghindar.

Para ahli psikologi mengatakan bahwa refleksi diri merupakan bentuk evaluasi yang dilakukan secara terencana. Individu yang melakukannya akan memastikan bahwa apa yang mereka jalani selama ini masih sesuai dengan tujuan awal.

Mengutip Buku Ajar Pengantar Kewirausahaan karya Andi Mursidi, dkk., terkadang refleksi diri juga mengarah pada mimpi yang ingin diraih. Dengan begitu, setiap individu dapat menjalankan rencananya dengan lebih terarah.

Dan tak semua refleksi datang dari meditasi atau jurnal. Terkadang itu muncul di halte bus saat hujan, di dapur saat mencuci piring, atau di detik sebelum tidur asal kita berani mendengarkan sunyi yang bicara.

Kini, aku belajar memberi ruang pada jeda. Mengizinkan diriku gagal tanpa harus merasa hancur. Menerima bahwa tidak semua hari harus produktif, dan tidak semua pertanyaan butuh jawaban segera.

Aku belajar bahwa arah hidup bukan sesuatu yang harus selalu jelas setiap waktu. Kadang, kita hanya perlu satu hal: keberanian untuk berhenti sejenak, menata hati, lalu menyusun langkah kembali.

Karena dalam dunia yang terus berlari, mungkin justru yang paling berani adalah mereka yang tahu kapan harus diam.***

 

Oleh: Nabila Febriyanti (Mahasiswa Jurnalistik Politeknik Negeri Jakarta)ta Jurnalistik Politeakarta Jurnalistik Politeknik Negeri Jakarta

Sumber: