Lebih dari Sekadar Angka: Perceraian dan Dampaknya pada Anak

Ilustrasi Keluarga (sumber: Istock)--
Sumber:
Ilustrasi Keluarga (sumber: Istock)--
Jakarta, AktualNews - Setiap anak yang tumbuh di tengah perpisahan kedua orang tua pasti pernah merasakan luka dan kehilangan. Namun, banyak dari mereka justru belajar untuk lebih kuat, mandiri, dan mampu mengendalikan diri dalam menghadapi berbagai tantangan hidup.
Pengendalian diri pada anak sering kali terwujud dalam berbagai cara. Mereka belajar untuk tidak larut dalam kesedihan, tidak mudah marah, dan tetap berprestasi di sekolah meskipun situasi rumah tidak harmonis. Penelitian menunjukkan bahwa kontrol diri memiliki pengaruh positif terhadap penerimaan diri siswa yang berasal dari keluarga broken home. Anak-anak yang mampu mengendalikan diri cenderung lebih mudah menerima keadaan, tidak mudah terjerumus pada perilaku negatif, dan tetap fokus pada tujuan hidup.
Strategi coping positif juga menjadi bagian penting dari pengendalian diri. Anak-anak tersebut kerap belajar memanfaatkan aktivitas yang menyenangkan, bercerita kepada teman atau keluarga terdekat, atau melakukan kegiatan yang membantu mereka mengalihkan perhatian dari masalah yang dihadapi. Beberapa anak bahkan memilih untuk melibatkan diri dalam aktivitas religius.
Berdamai dengan keadaan adalah langkah utama dalam pengendalian diri. Anak-anak ini diajarkan untuk menerima bahwa tidak semua hal dalam hidup bisa dikendalikan, dan mereka belajar untuk fokus pada hal-hal yang bisa diubah. “It’s okay to be not okay” menjadi kalimat yang menenangkan dan membantu mereka untuk tidak larut dalam kesedihan. Dengan berdamai terhadap keadaan, mereka mampu mengelola emosi dan membangun kembali kepercayaan diri.
BACA JUGA:Ketika Gagal, Kamu Tak Harus Kuat Sepenuhnya
Dukungan lingkungan juga sangat penting. Meski keluarga utuh tidak selalu hadir, teman, guru, dan lingkungan sekolah bisa menjadi tempat belajar mengendalikan diri dan membangun kepercayaan diri. Anak-anak yang mendapat dukungan dari lingkungan cenderung lebih mudah menerima diri dan tidak minder dalam pergaulan.
Refleksi diri dan penerimaan keadaan menjadi langkah akhir dalam proses pengendalian diri. Seorang anak belajar untuk berdamai dengan masa lalu, menerima bahwa perpisahan orang tua bukan akhir dari segalanya, dan tetap optimis menatap masa depan.
Pastinya, setiap anak ingin tumbuh dengan kehadiran kedua orang tua yang utuh. Namun, hidup kadang tak selalu berjalan sesuai harapan. Seperti kisah Nur—atau siapa pun yang pernah merasakan hal serupa—yang sejak kecil harus belajar menerima kenyataan bahwa rumah tak selalu berarti tempat yang paling hangat.
Sejak kecil, Nur sudah akrab dengan kata “perpisahan”. Kedua orang tuanya memang tak pernah benar-benar bersama, meski secara status belum resmi bercerai.
“Saya lebih banyak tinggal bersama nenek,” ungkap Nur, suaranya pelan namun tegas. “Mama dan papa jarang ada di rumah, jadi sejak kecil saya sudah terbiasa dengan kehadiran nenek yang selalu menemani.”
Kehidupan Nur memang tak pernah kekurangan secara materi. Keluarganya bisa dikatakan berkecukupan, bahkan Nur tetap bisa bersekolah di sekolah yang bagus di kotanya. Namun di balik semua itu, Nur justru dihadapkan pada masalah lain—kekosongan kasih sayang dari kedua orang tuanya.
“Saya tidak pernah merasakan bagaimana rasanya makan bersama keluarga lengkap, atau sekadar mendengar cerita sebelum tidur dari papa atau mama,” kenang Nur. “Tapi saya bersyukur masih punya nenek yang selalu ada untuk saya.”
Nur menceritakan, hubungan kedua orang tuanya sangat rumit. Mereka sering bertengkar dan akhirnya memutuskan untuk tidak tinggal bersama.
“Saya tidak pernah benar-benar memahami apa yang terjadi di antara mereka,” katanya. “Yang saya tahu, saya harus belajar untuk mandiri sejak kecil.”
Kisah Nur ini bukanlah satu kasus yang hanya terjadi di Indonesia. Laporan Statistik Indonesia 2024 juga menyoroti angka perceraian di Indonesia selama tiga tahun terakhir. Angka perceraian sempat meningkat pada tahun 2022, namun kembali menurun pada tahun 2023—meski tidak signifikan.
Berikut data perceraian di Indonesia dalam kurun waktu tiga tahun terakhir:
Tahun 2021: 447.743 kasus
Tahun 2022: 516.344 kasus
Tahun 2023: 463.654 kasus
Banyak hal yang memicu perceraian, mulai dari perselingkuhan, kekerasan dalam rumah tangga, poligami, dan masih banyak lagi. Masalah perselisihan yang berkepanjangan menjadi penyebab terbanyak, sebanyak 251.828 kasus. Disusul alasan meninggalkan salah satu pihak (34.322 kasus), dan kekerasan dalam rumah tangga (5.174 kasus).
Perjalanan angka perceraian ini tidak lepas dari dinamika sosial dan perubahan kebijakan. Penurunan angka pada 2023, misalnya, diyakini dipengaruhi oleh sosialisasi dan kampanye pentingnya persiapan emosional, spiritual, dan finansial sebelum menikah yang dilakukan oleh Kantor Urusan Agama (KUA). Selain itu, revisi Undang-Undang Perkawinan yang menaikkan batas usia minimal pernikahan juga turut berkontribusi.
Namun, di balik semua upaya tersebut, setiap perceraian tetap meninggalkan jejak mendalam terutama bagi anak-anak. Anak-anak yang tumbuh di tengah keluarga yang retak sering kali harus berjuang sendiri untuk memahami dan menerima perubahan besar dalam hidup mereka.
Salah satunya adalah Nur, yang memilih untuk mengambil hikmah dari setiap kejadian yang dialaminya.
“Saya percaya, setiap pengalaman yang saya alami membentuk saya menjadi pribadi yang lebih kuat,” ujarnya.
“Saya belajar untuk tidak bergantung pada siapa pun, dan selalu berusaha untuk menjadi yang terbaik.”
Kini, di balik senyum dan suaranya yang hangat, Nur tetap menyimpan luka masa kecil yang tidak mudah untuk dilupakan. Namun, ia memilih untuk tidak larut dalam kesedihan.
“Saya ingin membuktikan bahwa masa lalu tidak menentukan masa depan,” katanya.
“Saya ingin menjadi inspirasi bagi mereka yang juga tumbuh tanpa kehadiran kedua orang tua, bahwa kita tetap bisa sukses dan bahagia.”
Refleksi diri Nur adalah bukti bahwa kekuatan seseorang tidak hanya berasal dari kasih sayang yang sempurna, tapi juga dari tekad untuk terus bangkit dan belajar dari setiap pengalaman hidup. Di balik semua luka masa kecil, ia memilih untuk tetap berdiri tegak, dan menciptakan kisah barunya sendiri.***
Penulis: Naszwa Annida Rizky – Mahasiswa Penerbitan Jurnalistik Politeknik Negeri Jakarta
Sumber: