Luka yang Tak Tunduk pada Waktu

Luka yang Tak Tunduk pada Waktu

Ilustrasi perempuan duduk sendiri di tepi laut, tenggelam dalam perenungan. (Sumber: Freepik.com)--

Kita mulai bertanya: apakah cinta itu pantas dikejar, atau hanya pantas dikenang? Apakah luka ini pantas dilupakan, atau justru diingat sebagai pelajaran? Dan di sanalah refleksi menemukan rumahnya: pada tanya yang tidak selalu butuh jawaban.

Sulitnya melupakan seringkali bukan karena orangnya begitu istimewa, tapi karena kita menggantungkan makna pada dirinya. Ketika seseorang dijadikan pusat harapan, maka kehilangannya mengaburkan arah hidup. Dan saat itu, bukan cinta yang menyakitkan, melainkan bayangan kita sendiri tentang cinta.

BACA JUGA:Ketika Gagal, Kamu Tak Harus Kuat Sepenuhnya

Refleksi adalah tentang menyadari peran kita dalam luka itu. Bahwa seringkali bukan orang lain yang menyakiti, tapi harapan kita sendiri yang terlalu tinggi. Kita yang menanam, kita pula yang terluka saat panen tak sesuai.

Luka cinta bisa menjadi cermin untuk mengenal diri lebih dalam. Bukan untuk menyalahkan, tapi untuk mengerti. Bahwa mencintai pun butuh batas, dan menyayangi diri sendiri adalah bentuk cinta tertinggi.

Harapan yang Tidak Pulang

Akhir dari cerita tak selalu berarti selesai. Ada kisah yang terus hidup dalam diam, dalam kepala, dalam napas. Dan terkadang, yang kita butuhkan bukan penyembuh, tapi penerimaan bahwa luka itu mungkin akan tinggal selamanya.

Mereka yang kuat bukanlah yang melupakan paling cepat, tapi yang mampu hidup meski hatinya belum utuh. Yang tetap melangkah meski ada bagian dari dirinya yang hilang. Karena hidup tak menunggu sembuh, ia hanya menuntut kita untuk terus berjalan.

Jadi jika suatu hari terlihat senyum pada wajah seseorang, jangan kira lukanya sudah sembuh. Bisa jadi ia hanya belajar untuk berdamai. Sebab ada luka yang tidak bisa disembuhkan oleh waktu, hanya bisa ditenangkan oleh keberanian untuk menerima.***

 

Penulis: Puji Khoirunnisa (Mahasiswa Politeknik Negeri Jakarta)

Sumber: