Awan Kelabu di Gerbang Sekolah, Suara Korban Bullying yang Tak Terdengar

Ilustrasi Keluarga (sumber: iStock)--
Sumber:
Ilustrasi Keluarga (sumber: iStock)--
Jakarta, AktualNews - Lorong sekolah yang biasanya ramai dengan tawa dan canda ternyata menyimpan kisah pilu yang jarang terlihat. Di Indonesia, kasus perundungan terhadap anak di lingkungan sekolah bukanlah hal baru. Data terbaru menurut UNICEF Indonesia menunjukkan bahwa kasus bullying meningkat tajam secara nasional.
Data jajak pendapat U-Report terhadap 2.777 anak muda Indonesia berusia 14–24 tahun menemukan bahwa 45% dari mereka pernah mengalami perundungan daring. Tingkat pelaporan dari anak laki-laki sedikit lebih tinggi dibandingkan anak perempuan (49% dibandingkan dengan 41%).
Jenis perundungan daring yang paling banyak terjadi menurut 1.207 responden U-Report adalah:
Pelecehan melalui aplikasi chatting (45%)
Penyebaran foto/video pribadi tanpa izin (41%)
Jenis pelecehan lainnya (14%)
Angka ini bukan sekadar statistik, melainkan kisah nyata yang dialami anak-anak di seluruh negeri.
BACA JUGA:Awan Kelabu di Gerbang Sekolah, Suara Korban Bullying yang Tak Terdengar
Setiap pagi, ketika pintu sekolah dibuka, bukan hanya buku dan tas yang mereka bawa, tapi juga ketakutan. Ada anak yang berjalan pelan, menundukkan kepala, takut bertemu tatapan teman-temannya. Ada yang duduk sendirian di sudut kelas, menahan air mata, atau tersenyum palsu demi menyembunyikan rasa sakitnya.
Kata-kata kasar seperti "bodoh", "jelek", atau "tidak punya teman" sudah menjadi menu harian yang harus mereka telan. Kadang, ejekan itu juga disertai kekerasan fisik hingga menimbulkan luka baik di tubuh maupun di hati.
Rasa sakit itu tidak hanya berhenti di sekolah, tapi juga terbawa pulang. Banyak anak memilih diam, tidak menceritakan apa yang mereka alami kepada orang tua atau guru karena takut dianggap lemah atau malah dituduh salah. Mereka menyimpan semua rasa sakit itu di dalam hati atau menuliskannya di buku harian satu-satunya tempat di mana mereka bisa jujur tanpa takut dihakimi.
BACA JUGA:Sepotong Kehangatan di Meja Makan
Kasus-kasus perundungan juga meninggalkan trauma yang dalam. Data KPAI mencatat, pada tahun 2023 terdapat 2.355 pelanggaran perlindungan anak, dengan 87 kasus bullying dan 487 kasus kekerasan seksual. Bahkan, 3.800 anak dilaporkan mengalami trauma mental akibat perlakuan tidak adil di sekolah. Ada korban yang harus menjalani operasi karena luka fisik, ada juga yang mengalami gangguan psikologis hingga takut kembali ke sekolah.
Sekolah yang seharusnya menjadi tempat aman justru menjadi mimpi buruk bagi sebagian anak. Tidak jarang, kasus perundungan terjadi karena lemahnya pengawasan, kurangnya edukasi, dan lemahnya penegakan disiplin di lingkungan sekolah maupun pesantren. Namun, di balik semua itu, anak-anak korban perundungan tetap berharap suatu hari nanti mereka akan menemukan lingkungan yang menerima mereka apa adanya.
Salah satunya adalah kisah Budi. Di antara tawa dan canda anak-anak lain, seorang anak duduk sendiri, matanya menatap ke bawah, seolah takut untuk bertemu tatapan siapa pun. Dia adalah Budi kala itu. Hari-hari di sekolah selalu terasa berat. Di sana bukan hanya pelajaran yang harus ia hadapi, tapi juga cibiran, ejekan, dan perlakuan tidak adil dari teman-temannya sendiri. Seperti ada awan kelabu yang selalu mengikuti langkahnya setiap kali ia memasuki gerbang sekolah.
BACA JUGA:Pulang yang Tak Pernah Bertanya
Ia masih ingat bagaimana setiap pagi harus menguatkan diri menghadapi hari baru. Kata-kata kasar seperti "bodoh", "jelek", atau "tidak punya teman" sudah menjadi menu harian yang harus ia telan. Kadang, mereka mengejek penampilannya atau menertawakan hasil kerjanya di kelas. Rasanya ia ingin menangis, tapi takut jika air matanya jatuh, mereka akan semakin mengejeknya. Jadi, Budi belajar untuk menahan air mata, menyembunyikan rasa sakitnya di balik senyuman palsu.
Di rumah pun, ada anak-anak yang tidak bisa menceritakan semua yang mereka alami. Mereka takut membebani orang tua, takut membuat mereka khawatir, atau malah disalahkan. Jadi, mereka memilih diam, menyimpan semua rasa sakit itu dalam hati. Kadang, mereka menulis di buku harian, menumpahkan semua emosi yang tak bisa diungkapkan. Buku harian itu menjadi teman setia, tempat mereka bisa jujur tanpa takut dihakimi.
Seiring waktu, Budi mulai membangun benteng pertahanan dalam dirinya. Ia belajar untuk tidak terlalu memperdulikan kata-kata orang lain meski tetap saja sakit. Ia mencari teman-teman yang baik, meski hanya sedikit, namun mereka adalah cahaya di tengah kegelapan. Ia juga mulai menemukan hobi baru seperti membaca dan menggambar, yang membantu mengalihkan pikirannya dari rasa sakit dan membuatnya merasa bahwa masih banyak orang baik di sekitarnya.
Saat beranjak dewasa, Budi mulai merenungkan semua pengalaman itu. Ia menyadari bahwa apa yang terjadi padanya bukanlah kesalahannya. Ia belajar bahwa penderitaan tidak harus menghancurkan, tapi bisa menjadi pelajaran berharga. Ia menjadi lebih peka terhadap perasaan orang lain karena tahu bagaimana rasanya diperlakukan tidak adil. Ia juga belajar untuk lebih menghargai dirinya sendiri, dan tidak membiarkan orang lain menentukan nilainya.
Kini, Budi mencoba untuk tidak membiarkan luka masa lalu mengendalikan hidupnya. Ia memilih untuk memaafkan—bukan karena mereka pantas dimaafkan, tapi karena dirinya pantas hidup dengan damai. Ia berusaha menjadi orang yang lebih baik, membantu mereka yang mengalami hal serupa. Ia ingin menjadi cahaya bagi mereka yang masih terjebak dalam kegelapan, seperti yang pernah ia rasakan.
Refleksi diri dari pengalaman bullying membawa Budi pada pemahaman baru: bahwa setiap luka bisa menjadi kekuatan jika kita mau belajar darinya. Ia tidak lagi melihat dirinya sebagai korban, tapi sebagai pribadi yang lebih kuat, lebih bijak, dan lebih peduli. Ia percaya bahwa masa lalu yang pahit bisa menjadi batu loncatan menuju masa depan yang lebih baik asalkan kita mau merenung, belajar, dan terus maju.
BACA JUGA:Refleksi Diri: Belajar Berani Berkata Tidak untuk Menolak Ajakan Seseorang di Tengah Tekanan Sosial
Budi juga belajar bahwa kekuatan sejati bukanlah tentang tidak pernah terluka, tapi tentang bagaimana kita bangkit dari luka itu. Ia belajar untuk tidak membiarkan masa lalu menentukan masa depannya. Ia belajar untuk lebih percaya diri, lebih menghargai dirinya sendiri, dan lebih peduli terhadap orang lain. Ia belajar bahwa dirinya berharga, tidak peduli apa kata orang lain.
Kini, Budi ingin berbagi pengalamannya kepada mereka yang pernah atau sedang mengalami hal serupa. Ia ingin mereka tahu bahwa mereka tidak sendirian, bahwa ada harapan di ujung terowongan. Ia ingin mereka tahu bahwa mereka berharga, dan masa depan bisa menjadi lebih baik jika mereka mau belajar dari pengalaman dan terus berjuang.
Refleksi diri telah membawa Budi pada pemahaman yang lebih dalam tentang arti kehidupan. Ia belajar bahwa setiap pengalaman, baik yang manis maupun yang pahit, adalah bagian dari proses pertumbuhan. Ia belajar untuk tidak lari dari rasa sakit, tapi menghadapinya dengan kepala tegak.
Cerita ini bukan sekadar tentang angka dan data, tapi tentang perasaan yang harus kita dengar. Setiap anak berhak mendapatkan perlakuan baik, dukungan, dan kehangatan dari lingkungannya. Jika kita tidak peduli, maka kita ikut melanggengkan budaya diam yang justru membuat korban semakin menderita. Mari jadikan sekolah sebagai tempat yang aman, nyaman, dan penuh kasih sayang untuk setiap anak.***
Penulis:
Naszwa Annida Rizky
Mahasiswa Penerbitan Jurnalistik, Politeknik Negeri Jakarta
Sumber: