Cinta Tanpa Visa: Gagalnya Hubungan Jarak Jauh

Ilusrasi Long Distance Relationship (Sumber : Freepik)--
Sumber:
Ilusrasi Long Distance Relationship (Sumber : Freepik)--
Jakarta, AktualNews - Hubungan itu dimulai dari hal yang sederhana, sebuah swipe kanan di aplikasi kencan internasional. Tapi begitulah semesta bekerja, hanya dengan teknologi dapat menghubungkan dua orang dari dua benua yang berbeda Asia dan Afrika. Vina, dari Jakarta, mahasiswi semester 4 yang sedang jenuh dengan tugas dan rutinitas kuliah, dan Yousef, dari Tunisia, pria muda dengan wajah tampan yang memiliki senyum manis dan selera humor yang tak pernah gagal membuatnya tertawa lewat chat.
Tak butuh waktu lama hingga mereka saling menyapa. Dari situ, obrolan tentang makanan kesukaan, aktivitas sehari-hari, dan pertanyaan-pertanyaan lucu perlahan membuat keduanya makin dekat. Ia sering tersipu setiap kali pria itu melempar pujian atau kalimat romantis dengan aksen Arab-Inggris yang manis di telinga.
Hubungan itu berjalan nyaris dua bulan. Mereka belum pernah bertemu, tapi terasa seperti sudah saling kenal seumur hidup. Tiap malam, video call menjadi rutinitas. Kadang tak ada pembahasan penting, hanya saling menatap.
“Dia suka bilang aku cantik, bahkan kalau aku baru bangun tidur. Padahal aku belum sempat cuci muka,” ujar Vina, tertawa kecil.
BACA JUGA:Makna Kegagalan dalam UTBK 2025: Antara Realita dan Harapan yang Masih Panjang
LDR lintas negara memang punya tantangan tersendiri. Ada teknologi, ada komitmen, ada cinta. Tapi waktu dan kesibukan perlahan memisahkan mereka. Saat satu sibuk mengerjakan tugas kuliah, yang lain mulai bekerja penuh waktu dan kewalahan dengan tuntutan keluarga.
“Aku pernah kirim voice note, dia baru balas dua hari kemudian,” katanya, suaranya mulai pelan. “Dulu dia orang pertama yang aku cari pas bangun. Sekarang, bahkan chat terakhir aja nggak dibuka,” ucap Vina.
Menurut Dr. Terri Orbuch, psikolog hubungan dari University of Michigan, fenomena seperti ini disebut emotional distancing. Dalam artikelnya di Psychology Today, ia menjelaskan bahwa LDR kerap membuat pasangan “kehilangan pengalaman bersama yang jadi pondasi emosional hubungan.”
Menurut Ayu Puspita, M.Psi., dosen psikologi dari Universitas Indonesia, hubungan jarak jauh, terutama yang lintas negara dan budaya, memiliki tantangan psikologis yang kompleks.
“Banyak pasangan LDR merasa emosional satu sama lain, tapi tanpa kontak fisik dan rutinitas nyata bersama, hubungan bisa kehilangan keintiman. Apalagi kalau tidak ada rencana konkret untuk bertemu,” ujar Ayu.
Data dari Gitnux.org juga menunjukkan hal serupa. Dari total pasangan LDR lintas negara, hanya sekitar 37% yang berhasil bertahan lebih dari satu tahun. Sisanya berakhir karena kurangnya kehadiran fisik, perbedaan budaya, konflik waktu, dan ekspektasi yang tak sejalan.
Mereka akhirnya memutuskan untuk berhenti. Tak ada drama. Tak ada perkelahian. Hanya satu pesan suara yang direkam malam hari, dengan suara bergetar, diiringi suara hujan dari luar jendela.
“Kayaknya kita udah nggak lagi jalan ke arah yang sama,” begitu isi pesannya, ujar Vina.
Laki-laki itu membalas beberapa jam kemudian. Kalimatnya pendek, tapi cukup: “You’ll always be my what if.”
Sekarang, tidak ada lagi notifikasi dari luar negeri di layar ponselnya. Tapi ia masih menyimpan foto-foto dan potongan percakapan penting di folder tersembunyi. Bukan untuk disesali, tapi sebagai jejak kecil bahwa ia pernah dicintai dari kejauhan.
“Buatku, dia bukan cuma seseorang dari aplikasi,” ujarnya, menatap langit yang mulai mendung. “Dia pernah jadi rumah yang jauh, tapi hangat.”
Tak semua cinta harus bertemu di ujung. Ada cinta yang hanya mampir sebentar, mengisi ruang yang kosong, lalu pergi tanpa permisi tapi tetap meninggalkan bekas yang tak mudah hilang.
Dan itu tidak apa-apa.
Kadang, yang paling berarti bukan siapa yang tinggal, tapi siapa yang pernah hadir, walau hanya lewat layar, di tengah malam, dengan suara yang membuatmu merasa tak sendiri. ***
Penulis: Devita Aida Arisanti
Sumber: