Refleksi Diri: Belajar Berani Berkata Tidak untuk Menolak Ajakan Seseorang di Tengah Tekanan Sosial

Refleksi Diri: Belajar Berani Berkata Tidak untuk Menolak Ajakan Seseorang di Tengah Tekanan Sosial

--

Jakarta, AktualNews - Sore itu, kampus perlahan meredup. Langit berganti warna dari biru cerah menjadi jingga. Jalan menuju halte bus kampus tak lagi ramai, hanya beberapa mahasiswa yang lalu-lalang dengan langkah santai. Di antaranya, Syaquel melangkah pelan, seolah tak ingin terburu-buru meninggalkan hari.

Di telinganya terpasang headphone. Alunan musik mengisi ruang-ruang kosong di dalam kepalanya. Sementara angin sore memainkan ujung rambutnya, membuatnya sesekali menyibakkan helai-helai yang menutupi wajah. Syaquel terlihat tenang, meski dalam hatinya sedang memutar ulang hari yang terasa begitu panjang.

Seharian ia tertawa. Bercanda dengan teman-teman, berpindah dari satu ruang ke ruang lain, menyapa siapa pun yang ia temui. Tak ada yang menyangka bahwa di balik tawanya, ada rasa lelah yang mengendap. Rasa yang tak tampak, tapi mulai ia rasakan di sudut-sudut pikirannya.

Syaquel dikenal sebagai pribadi yang hangat dan mudah didekati. Ia seperti magnet yang menyedot perhatian dan kehadiran orang-orang di sekitarnya. Ia terbiasa menjadi pusat tawa, tempat bercerita, dan kadang tanpa disadari juga menjadi pelampung untuk lelah orang lain.

BACA JUGA:Ketika Gagal, Kamu Tak Harus Kuat Sepenuhnya

Namun tak semua tahu, menjadi ekstrovert tidak selalu berarti kuat tanpa jeda. Di balik ramainya interaksi, ada kalanya ia ingin diam. Tidak menjawab pesan, tidak ikut nongkrong, tidak menjadi "tempat" bagi siapa pun. Tapi rasa bersalah sering datang lebih dulu sebelum ia sempat menolak.

"Aku cuma takut bikin orang kecewa," bisik hatinya suatu waktu. Dan karena itulah, ia terlalu sering berkata "ya" pada pertemuan, bahkan ketika tubuhnya minta pulang. Ia tahu ada yang salah, tapi masih mencoba mengabaikannya. Sampai suatu sore seperti ini, ketika sunyi terasa lebih menenangkan daripada suara ramai.

Syaquel pernah membaca hasil penelitian tentang kelelahan mental pada mereka yang terbiasa bersosialisasi. Penelitian itu menyebut bahwa setelah beberapa jam berinteraksi, otak bisa mengalami penurunan energi secara signifikan. Bukan hanya terjadi pada introvert, tapi juga ekstrovert sepertinya.

Kutipan dari seorang terapis wanita sempat tertinggal dalam ingatannya: "Meskipun orang ekstrovert merasa terisi kembali dengan berada di dekat orang lain, selalu ada kemungkinan sesuatu secara berlebihan." Kalimat itu datang kembali sore ini, seolah mengingatkan bahwa bahkan energi sosial pun punya batas.

Dan memang benar. Kadang, kita terlalu sibuk menjadi ada untuk orang lain, sampai lupa untuk hadir bagi diri sendiri. Kita lupa bahwa kita juga butuh ruang kosong tempat menepi, merenung, atau hanya sekadar bernapas tanpa beban.

Syaquel, dengan langkah kecilnya menuju halte, sedang belajar itu semua. Ia sedang belajar bahwa mengatakan "tidak" juga bagian dari mencintai diri sendiri. Ia sedang belajar bahwa istirahat bukan bentuk kelemahan, tapi justru tanda kekuatan untuk bertahan.

BACA JUGA:Kamu dan Dirimu yang Terlupakan

Refleksi diri baginya bukan berarti menjauh dari orang lain, tapi mendekat—lebih dalam—pada isi hati yang sering ia tutupi dengan canda. Karena sekuat-kuatnya seseorang terlihat, tetap saja ada saat di mana pelukan paling dibutuhkan datang dari diri sendiri.

Halte itu kini mulai sepi. Cahaya lampu jalan menyala satu per satu. Syaquel duduk sambil menatap jalan yang tak terlalu ramai. Di hadapannya, kendaraan berlalu, satu demi satu, tanpa suara berarti. Di kepalanya, musik masih mengalun, tapi pikirannya mulai lebih tenang.

Ia tak tahu apakah besok akan kembali mengiyakan semua ajakan. Tapi hari ini, ia memilih diam. Memilih mendengar suara hatinya yang lama tak diberi ruang. Memilih untuk mengistirahatkan dirinya sendiri, meski hanya sejenak.

Karena pada akhirnya, hidup bukan hanya tentang hadir bagi orang lain, tapi juga tentang hadir untuk diri sendiri. Dan sore itu, di antara angin dan musik, Syaquel akhirnya benar-benar hadir—bukan sebagai teman yang menghibur, tapi sebagai manusia yang sedang belajar jujur pada dirinya sendiri.***

 

Penulis: Masni
Mahasiswa Politeknik Negeri Jakarta

Sumber: