Pulang yang Tak Pernah Bertanya

Foto; ilustrasi--
Jakarta, AktualNews - Hujan baru saja reda sore itu. Uap dari jalanan yang basah masih menari-nari di udara, sementara langit menampakkan semburat jingga yang tertahan awan. Di ujung gang sempit, sebuah rumah berwarna krem tampak biasa saja pagar besi berderit, lampu gantung redup, dan suara tawa pelan dari dalam rumah.
Di ruang depan, dua orang tampak sedang melipat cucian. Televisi menyala tanpa ditonton, sekadar mengisi sunyi. Salah satu dari mereka menyuguhkan teh, bukan karena tamu datang, tapi karena sudah terbiasa begitu setiap jam lima sore. Tidak ada yang istimewa di rumah ini tidak ada perabot mahal atau hiasan yang rapi. Tapi ada satu hal yang membuat rumah ini tidak pernah sepi keberanian untuk menerima.
“Kadang kami ribut hanya gara-gara sandal ditaruh sembarangan,” ujar Laila, sambil tersenyum kecil. “Tapi malamnya tetap makan bareng, meski awalnya diam-diaman.” Di rumah itu, marah tidak berarti usai. Tidak ada kata pisah yang benar-benar diucapkan. Mereka belajar bahwa mencintai seseorang tidak harus selalu menyetujui, tapi cukup memahami. Tidak harus pandai merangkai kata, asal tidak lelah hadir.
BACA JUGA:Berpikir Jadi Titik Balik Hidup
Laila mengatakan, mereka sering kali tidak tahu bagaimana cara menghibur satu sama lain. Namun, satu cangkir kopi, sepotong roti tawar, atau hanya duduk di sudut ruangan yang sama sudah cukup. Tidak ada keharusan untuk tampil kuat. Di rumah itu, rapuh pun dihargai.Pernah suatu waktu, salah satu dari mereka pulang larut malam dengan mata sembab. Tidak ada yang bertanya panjang. Hanya sepotong tisu yang disodorkan, dan pintu kamar yang tetap terbuka meski malam larut. Itu saja sudah cukup jadi pelukan.
Keluarga, bagi mereka, bukan soal kemiripan wajah atau nama di kartu identitas. Tapi soal siapa yang tetap tinggal ketika yang lain memilih pergi. Soal siapa yang masih menanyakan kabar walau tahu kita sedang tidak ingin bercerita.
Mereka bukan orang-orang yang punya banyak waktu untuk membahas perasaan. Tapi mereka tahu kapan harus diam, dan kapan cukup mengulurkan tangan. Mereka bukan orang yang pandai memberi kejutan, tapi selalu ada ketika dibutuhkan.
BACA JUGA:Refleksi Diri: Belajar Berani Berkata Tidak untuk Menolak Ajakan Seseorang di Tengah Tekanan Sosial
“Pernah kami tidak bicara tiga hari penuh,” kata Laila pelan. “Tapi malam keempat, dia bangunin aku cuma buat bilang, ‘Nasi udah mateng.’ Ya, segitu aja udah cukup bikin nangis.” Di ruang itu, tidak ada drama, tidak ada romantisme berlebihan. Tapi ada ketulusan yang bertahan tanpa dirayakan. Sebuah bentuk kasih sayang yang tidak dilatih, tapi tumbuh sendiri, dari hari ke hari.
Ketika malam makin larut, suara televisi makin kecil. Beberapa sudah masuk kamar, yang lain masih di dapur, mencuci piring sambil menyenandungkan lagu lawas. Rumah itu pelan-pelan kembali hening. Tapi tidak pernah kosong. Rumah ini tidak menawarkan banyak hal. Tapi ia selalu ada. Tidak menuntut siapa pun untuk bahagia setiap waktu. Hanya menunggu, dalam senyap, bagi siapa pun yang ingin pulang. Tanpa perlu menjelaskan alasan.
Dan mungkin, itu yang membuat rumah ini tetap menyala. Bukan karena lampunya, tapi karena ada cinta yang tidak pernah diminta untuk dibalas.***
Sumber: