Berpikir Jadi Titik Balik Hidup

Berpikir Jadi Titik Balik Hidup

Foto; ilustrasi--

Jakarta, AktualNews - Di sebuah rumah sederhana, kesunyian tak hanya hadir karena kematian, tetapi juga karena beban hidup yang tiba-tiba berubah arah. Seorang pemuda duduk memeluk waktu, mencoba mengerti bagaimana cara berdiri tegak ketika ayahnya pergi. Tanggung jawab menumpuk, hati ikut hancur.

Sejak hari itu, hidupnya berubah. Beban rumah tangga tak lagi hanya di tangan ibunya. Ia, yang saat itu masih menjalani kuliah, harus mulai memikirkan dua adiknya yang masih duduk di bangku sekolah dasar. 

Namun waktu terus berjalan, dan kehidupan tak pernah menunggu. Di tengah keterpurukan itu, ia perlahan memilih untuk tidak terus larut. Bukan keputusan besar yang instan melainkan pilihan kecil yang kemudian membawa pada suatu pencapaian. 

Tekanan Hidup yang Memicu Kedewasaan Berpikir

Kematian ayahnya yang datang tiba-tiba. Saat itu, ia masih menjalani kuliah yang belum rampung. Di rumah, ibu dan dua adiknya yang masih duduk di bangku sekolah dasar membutuhkan seseorang untuk jadi penopang. Tanggung jawab itu secara otomatis jatuh  di pundaknya. 

BACA JUGA:Refleksi Diri: Belajar Berani Berkata Tidak untuk Menolak Ajakan Seseorang di Tengah Tekanan Sosial

Dalam kondisi seperti itu, wajar jika ia merasa khawatir. Ia harus memikirkan biaya, masa depan adiknya, dan stabilitas emosi ibunya. Sementara dirinya belum selesai menata masa depan. Ia sedang berproses, tapi hidup meminta untuk mempercepat semuanya.

Saat duka belum selelsai, kekasihnya memutuskan hubungan. Waktunya hanya berselang singkat dari kepergian ayah. Dalam situasi hancur, ia merasa ditingalkan dalam banyak hal. Tidak ada pijakan yang tersisa. Maka tak heran ia memutuskan untuk berhenti kuliah.

Setelah kehilangan ayah dan diputuskan oleh kekasihnya dalam waktu yang berdekatan, ia memutuskan mengambil cuti kuliah. Bukan karena menyerah, tapi karena tahu dirinya perlu ruang untuk memulihkan dan berpikir ulang arah hidupnya.

Dalam masa itu, ia diam. Tapi diamnya bukan kosong, diam itu penuh dengan proses berpikir dan perenungan. Ia menilai kembali apa yang penting, dan apa yang bisa ia ubah dari keadaannya.

Dari Kehilangan Menuju Kesadaran Diri 

Dengan kondisi mental yang belum pulih, ia memilih untuk mengambil cuti kuliah. Tapi hidup tidak berhenti hanya karena seseorang yang sedang berduka. Ia tetap melanjutkan pekerjaannya agar tetap bisa membantu ibunya secara finansial.

BACA JUGA:Diri yang Terkikis oleh Ekspektasi

Hari-hari berjalan lambat. Meski tubuhnya hadir di tempat kerja, pikirannya masih tertinggal di rumah, kampus yang ia tinggalkan, dan di bayangan masa depan yang tak lagi jelas bentuknya. Tapi ia bertahan dalam versi paling sederhana, tifak menyerah.

Sumber: